Masyarakat Lampung Barat memasang tempurung kelapa di sepanjang jalur lintas barat daerah itu guna menyambut Idul Fitri 1431 Hijriah dan tradisi malam Pitu Likur atau malam 27 Ramadhan.
Pitu likur adalah kosa kata bahasa Jawa yang berarti bilangan ke-27, tetapi tradisi itu disebut asli dari Lampung.
"Tradisi malam Pitu Likur terus dilakukan masyarakat Lampung Barat menjelang Idul Fitri. Masyarakat meyakini tradisi tersebut dapat menghormati arwah leluhur," kata warga Pekon (Desa) Canggu, Kecamatan Batu Brak, Lampung Barat, Mariam (47), sekitar 269 kilometer dari Bandar Lampung di Canggu, Senin (6/9/2010) dini hari.
Dia menjelaskan, tradisi malam Pitu Likur adalah simbol penghormatan dan kemeriahan menyambut Idul Fitri.
"Budaya turun-temurun ini dilakukan guna menghormati arwah leluhur yang biasanya menjelang Idul Fitri akan bertandang pulang dan obor yang digunakan di depan rumah tersebut sebagai sumber cahaya agar leluhur dapat mengenali kediamannya," katanya.
Kemudian, lanjutnya, tradisi ini menjadi kewajiban masyarakat Lampung Barat. "Setiap tahun kami tidak ketinggalan menggelar prosesi malam Pitu Likur, bahkan akan terkesan kurang bila tradisi ini tidak dilakukan, sehingga tradisi nenek moyang ini terus abadi sepanjang masa," katanya.
Ia mengatakan, mayoritas masyarakat yang tinggal di Lampung Barat melakukan tradisi malam Pitu Likur. "Masyarakat yang memang asli orang Lampung akan menjalani tradisi malam Pitu Likur karena tradisi adat tersebut sudah menjadi darah daging masyarakat dalam menyambut Idul Fitri dan malam ini sepanjang jalur lintas barat terlihat terang dengan bakaran tempurung kelapa dan obor," katanya.
Tradisi malam Pitu Likur menjadi tradisi masyarakat Lampung Barat menjelang Idul Fitri dan mereka menyakini tradisi itu akan dapat memberikan jalan terang kepada leluhur yang hendak pulang rumah.
Kepercayaan ini masih dipegang teguh oleh masyarakat, bahkan setiap tahun tradisi ini terus diselenggarakan sebagai simbol kecintaan terhadap leluhur yang hendak menjenguk keluarga.
Tradisi itu dilaksanakan dengan menggunakan batok kelapa yang disusun memanjang dengan ketinggian satu meter lebih.
Batok tersebut pada malam seusai berbuka puasa akan dinyalakan seiring dengan dilantunkan doa-doa yang dipanjatkan untuk mengirim arwah leluhur mereka.
Tidak hanya batok kelapa yang digunakan, belasan obor juga ikut meramaikan malam Pitu Likur di daerah ini sehingga terlihat jalur lintas barat yang berada di permukiman warga terang dengan cahaya bakaran tempurung kelapa dan obor tersebut.
Kebiasaan masyarakat ini menjadi salah satu upaya pelestarian tradisi menjelang Idul Fitri sehingga tradisi leluhur akan dapat lestari.(kompas.com)
Pitu likur adalah kosa kata bahasa Jawa yang berarti bilangan ke-27, tetapi tradisi itu disebut asli dari Lampung.
"Tradisi malam Pitu Likur terus dilakukan masyarakat Lampung Barat menjelang Idul Fitri. Masyarakat meyakini tradisi tersebut dapat menghormati arwah leluhur," kata warga Pekon (Desa) Canggu, Kecamatan Batu Brak, Lampung Barat, Mariam (47), sekitar 269 kilometer dari Bandar Lampung di Canggu, Senin (6/9/2010) dini hari.
Dia menjelaskan, tradisi malam Pitu Likur adalah simbol penghormatan dan kemeriahan menyambut Idul Fitri.
"Budaya turun-temurun ini dilakukan guna menghormati arwah leluhur yang biasanya menjelang Idul Fitri akan bertandang pulang dan obor yang digunakan di depan rumah tersebut sebagai sumber cahaya agar leluhur dapat mengenali kediamannya," katanya.
Kemudian, lanjutnya, tradisi ini menjadi kewajiban masyarakat Lampung Barat. "Setiap tahun kami tidak ketinggalan menggelar prosesi malam Pitu Likur, bahkan akan terkesan kurang bila tradisi ini tidak dilakukan, sehingga tradisi nenek moyang ini terus abadi sepanjang masa," katanya.
Ia mengatakan, mayoritas masyarakat yang tinggal di Lampung Barat melakukan tradisi malam Pitu Likur. "Masyarakat yang memang asli orang Lampung akan menjalani tradisi malam Pitu Likur karena tradisi adat tersebut sudah menjadi darah daging masyarakat dalam menyambut Idul Fitri dan malam ini sepanjang jalur lintas barat terlihat terang dengan bakaran tempurung kelapa dan obor," katanya.
Tradisi malam Pitu Likur menjadi tradisi masyarakat Lampung Barat menjelang Idul Fitri dan mereka menyakini tradisi itu akan dapat memberikan jalan terang kepada leluhur yang hendak pulang rumah.
Kepercayaan ini masih dipegang teguh oleh masyarakat, bahkan setiap tahun tradisi ini terus diselenggarakan sebagai simbol kecintaan terhadap leluhur yang hendak menjenguk keluarga.
Tradisi itu dilaksanakan dengan menggunakan batok kelapa yang disusun memanjang dengan ketinggian satu meter lebih.
Batok tersebut pada malam seusai berbuka puasa akan dinyalakan seiring dengan dilantunkan doa-doa yang dipanjatkan untuk mengirim arwah leluhur mereka.
Tidak hanya batok kelapa yang digunakan, belasan obor juga ikut meramaikan malam Pitu Likur di daerah ini sehingga terlihat jalur lintas barat yang berada di permukiman warga terang dengan cahaya bakaran tempurung kelapa dan obor tersebut.
Kebiasaan masyarakat ini menjadi salah satu upaya pelestarian tradisi menjelang Idul Fitri sehingga tradisi leluhur akan dapat lestari.(kompas.com)
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar